Cast :
Kim Jungyeon, Park Jimin.
Genre :
NC, Married Life
Length :
One shoot
Author :
Ms. Childish
Jungyeon
POV
“Pakaian ini menyusahkanku.” Umpatku sambil
berjalan menuju rumah baruku bersama seorang pria yang sudah sah menjadi
suamiku sejak beberapa jam yang lalu. Usiaku memang masih muda. Bahkan terlalu
muda untuk menikah. Yah, kalian pasti ingin tau kenapa menikah dengannya.
Beberapa tahun yang lalu saat usiaku masih
balita, aku dijodohkan dengan putra dari sahabat ayahku. Aku mengetahui hal itu
karena ayah yang menceritakannya padaku saat pertama kali ayah tau aku memiliki
kekasih. Usia kami tidak berbeda jauh. Hanya berbeda 5 tahun. Dia sendiri saat
ini sudah bekerja. Meneruskan perusahaan ayahnya sebagai presiden direktur. Dia
sangat tampan, tinggi yaah walau tidak setinggi pria lainnya, dan… sexy. Kata
yang cocok untuknya.
“Aku mau mandi dulu. Kau pasti lelah. Sebaiknya
kau tidur duluan.” Ucapku sambil berjalan menuju kamar mandi. Namun beberapa
detik kemudian dia menarik tanganku dan memelukku dengan sangat erat.
“Apa kau ingin melewati malam pertama kita?
Mungkin kita bisa melakukanya setiap malam. Tapi malam pertama hanya terjadi
sekali dalam sebuah pernikahan. Apa kau yakin akan melewati malam pertama ini
denganku?” ujarnya. Ia masih memelukku dengan erat. Sungguh ini membuatku
sangat risih. Aku tidak nyaman dengan perkataannya. Tapi ibu bilang aku tidak
boleh menolak permintaan suamiku. Apapun yang ia minta aku harus menurutinya. Kenapa?
“Yeon? Jawab aku.” Ujarnya memanggilku sambil mengusap punggungku pelan. Aku
semakin risih.
“Ba-baiklah.” Jawabku terbata-bata. Sungguh
aku sangat gugup. Badanku gemetar dan jantungku berdetak semakin cepat. Ini
pertama kalinya bagiku.
Sebuah ciuman kini mendarat di bibirku. Bibir
tebalnya menyapu bibirku. Aku dapat merasakan hisapan lembutnya terhadap bibir
atasku. Ini benar-benar membuat jantungku terasa ingin lepas. Entah sejak kapan
aku sudah berada dibawahnya dengan tanpa busana. Aku tidak menyadari semua yang
terjadi. aku seakan terbuai dengan setiap perlakuannya. Beberapa saat kemudian
aku merasakan bibirnya sudah tidak lagi menempel pada bibirku. Namun jaeak kami
masih begitu dekat.
“Kau siap?” tanyanya meyakinkanku. Entah
apa itu maksudnya aku tidak mengerti. Benar. Sejauh ini yang aku tau hanya
sebatas ciuman. Aku tidak mengerti tentang hal ini.
“Akh!” aku menjerit saat merasakan ada
sesuatu yang masuk bagian kewanitaanku. Ini benar-benar sakit. Aku merasakan
ada sesuatu yang sobek di dalam sana. Entah apa itu, tapi ini benar-benar
sakit. Air mataku mengalir, aku meringis kesakitan sambil memejamkan mataku
kuat-kuat.
“Tahanlah Yeon. Ini hanya sesaat. Percayalah
padaku kau akan menikmatinya setelah ini.” suara Jimin tidak terlalu jelas di
telingaku. Aku hanya bisa menahan rasa sakit itu. Aku bahkan mencengkeram
punggung suamiku untuk melampiaskan rasa sakitku. Ini sangat sakit. Suamiku
mencoba meredam rasa sakitku dengan menciumku. Perlahan aku mersakan ia mulai
menggerakkan pinggulnya pelan-pelan. Sakit. Sangat sakit. Namun seiring
berjalannya waktu rasa sakit itu mulai berkurang dan berubah menjadi suatu
kenikmatan yang mebuatku selalu menginginkannya. Hingga akhirnya kami mencapai
puncak dari perminan ini. “Aku mencintaimu Yeon.” Dia mencium bibirku singkat
dan menaikkan selimut untuk menutupi tubuh telanjang kami yang basah dengan
keringat.
“Aku juga Jimin oppa.” Jawabku seraya
memeluknya. Ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan sepanjang hidupku.
Sinar matahari menembus kaca kamar
pengantiku hingga membuatku silau. Aku menoleh kesamping kananku. Kosong. Aku
mencari Jimin di sekeliling sudut tanpa menggerakkan tubuhku. “Akh!” aku
memekik pelan saat aku merasakan sakit yang luar biasa di bagian bawah tubuhku.
Aku bahkan lupa kalau saat ini tubuhku hanya ditutupi selimut tebal.
Ceklek
Aku dapat mendengarnya. Suara pintu terbuka
dan menampakkan sosok pria tampan yang berotot dan… tampan.
“Kau sudah bangun? Aku membuatkan sarapan
untukmu. Mandilah.” Aku tersenyum saat melihatnya mendekatiku. Sungguh ini
seperti mimpi. Namun aku menggeleng saat ia menyuruhku mandi. Bagaimana bisa
aku mandi? Berjalan pun rasanya aku tidak mampu. “Kenapa? Kau harus mandi.” Lagi-lagi
aku menggeleng. Bagaimana aku mengatakannya? Aku malu. Tidak. Aku tidak boleh
malu. Dia suamiku.
“Umm… itu… bekas semalam…” ujarku
terputus-putus. Bagaimana aku mengatakannya?
“Oh… masih sakit kah? Baiklah. Aku akan
membantumu ke kamar mandi.” Jimin menggendongku! Oh tidak! Pipiku terasa panas
saat ia mulai mengangkatku dan membawaku ke toilet. “Panggil aku kalau kau
sudah selesai.” Aku hanya mengangguk menurutinya.
Sudah seminggu kami menikah. Rasanya baru
kemarin aku menikah. Dan sekarang sudah hari ke 7. Hari ini dia sudah kembali
bekerja. Dan sepertinya waktuku dengannya akan semakin berkurang dan aku akan
selalu merindukannya. “Aku berangkat dulu. Jaga dirimu baik-baik ya.” Pamitnya
sambil mencium dahiku.
“Cepatlah pulang oppa. Jangan nakal.” Aku
mencubit hidungnya. Sungguh menggemaskan. Aku tidak pernah berpikir akan
mendapatkan jodoh sebaik dia.
“Aku tidak nakal. Ya sudah. Aku berangkat. Sampai
jumpa.” Jimin pun pergi bekerja.
Hari ini adalah hari ke 30 kami menikah. Terasa
begitu cepat. Siang ini aku berencana membawakannya makan siang khusus
buatanku. Aku berharap dia akan menyukainya. Saat ini aku sudah berada di depan
perusahaan suamiku. Aku mencoba menghubunginya sebelum aku sampai. Dia tidak
mengangkat panggilanku. Berkali-kali aku menghubunginya namun tetap saja tidak
dijawab. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk datang ke kantornya tanpa
berpikir panjang. Sesampainya di depan ruangan Jimin aku melihat tempat
sekretaris suamiku kosong. Mungkin dia sedang ada urusan di dalam. Aku mengetuk
pintu kantor suamiku. Tidak ada jawaban dan tidak ada juga yang membuka pintu. Aku
memutar kenop pintu itu. “Tidak dikunci. Kenapa aku mengetuknya? Aku bodoh.” Rutukku
pada diriku sendiri. Aku segera masuk dan betapa kagetnya aku saat aku melihat
pakaian wanita berserakan dilantai. Aku juga mendengar sesuatu. Seperti desahan
seorang wanita. Dan… dia menyebut nama suamiku? Ada apa ini? Aku melangkah
keluar dan membanting pintu. Ku harap Jimin akan mendengar suara pintu itu dan
segera keluar. Aku meletakkan rantang yang kubawa di meja sekretaris dan segera
pergi.
Aku pergi dari kantor itu. Entah mau kemana
aku sekarang. Aku tidak ingin pulang. Aku tidak ingin pulang kemana pun. Tapi
aku tidak bisa terus berada diluar rumah. Baiklah. Aku putuskan untuk pulang.
Sesampainya dirumah, aku segera menuju
kamarku dan duduk dilantai bersandar pada tempat tidur serta memeluk lututku.
Drrrttt… Ddrrttt….
Ponselku bergetar. Aku mengambilnya dan
melihat nama pemanggil. ‘suamiku’ cih. Apakah dia suamiku? Dia bahkan bercinta
dengan sekretarisnya sendiri. Aku mengubah nama kontak suamiku menjadi ‘Jimin’
nama yang apa adanya. Aku meletakkan kembali ponselku dan membiarkannya
bergetar. Aku menangis, tentu saja. Siapa yang tidak sakit hati jika melihat
suaminya bercinta di hadapan istri sahnya? Atau selama ini aku hanya dianggap
sebagai pemuas sexnya?
Jimin
POV
Saat ini aku sedang menikmati tubuh sexy
sekretarisku. Tapi sungguh. Tubuh istriku jauh lebih merangsangku daripada
wanita ini.
Jedorr!!!
Suara pintu itu mengagetkanku. Siapa yang
menggangguku saat aku sedang bercinta seperti ini? ah? Apakah pintu itu tidak
terkunci sejak tadi? Bagaimana jika pegawaiku melihatku? Aku segera melepaskan
kontak kami dan aku kembali berpakaian dan melemparkan pakaian sekretarisku. Aku
berlari keluar dan menemukan sebuah rantang makanan. Aku segera membukanya. “Yeon?
Apakah tadi itu dia? Tidak. Bagaimana bisa dia datang tanpa mengabariku?”
gumamku. Aku segera mengambil ponselku dan melihat 10 panggilan tidak terjawab.
Dan semuanya dari istriku. Aku mencoba menghubungi istriku. Tidak dijawab. Aku
berjalan keluar dan mencari istriku. Mungkin saja ia masih diluar. Tapi tidak. Dia
sudah tidak disana. Aku segera menuju perkiran dan mencarinya di rumah.
“Yeon!” teriakku sambil membuka setiap
pintu ruangan di rumahku.
“Yeon!” aku membuka pintu kamarku dan
disanalah dia berada. Memeluk lututnya dan memendam kepalanya diatara lututnya.
Aku dapat mendengar tangisannya. “Yeon…” panggilku lembut.
“JANGAN SENTUH AKU! KAU BUKAN SUAMIKU!
MULAI SEKARANG KAU BUKAN LAGI SUAMIKU!” bentaknya sambil menghempaskan tanganku
yang barusan menyentuhnya.
“Yeon. Maafkan aku.”
“TIDAK! AKU TIDAK BISA MEMAAFKANMU! SELAMA
INI AKU MEMANG BODOH! AKU HANYA KAU ANGGAP SEBAGAI PEMUAS SEXMU! AKU TIDAK
PERNAH ADA DIHATIMU! MULAI SAAT INI KITA BUKAN LAGI SUAMI ISTRI! KITA AKAN
SEGERA BERCERAI!”
“Yeon. Maafkan aku. Aku berjanji padamu
tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Aku hanya mencintaimu. Dan kau
bukan hanya pemuas nafsuku. Kau istriku. Penghuni hatiku. Percayalah padaku.”
“JANGAN SENTUH AKU! SEKALI KAU MENYENTUHKU
AKU TIDAK AKAN MEMBIARKAN DIRIKU HIDUP!!!” lagi-lagi dia berteriak. Aku mencoba
untuk tidak terbawa dengan emosiku.
“Baiklah. Tidak ada maaf untukku. Aku
menerima semuanya. Lakukanlah apapun yang kau inginkan. Ini memang salahku. Silahkan.
Jika kau ingin selingkuh juga. Aku tidak akan melarangmu untuk melakukannya.”
aku menunduk. Aku dapat mendengar tangisan Jungyeon yang semakin menjadi. Aku
memang pria tidak berperasaan. Harusnya aku tidak melakukannya. Harusnya aku
hanya melakukan hal itu dengan istriku. Aku salah. Maafkan aku Yeon.
SKIP
Sudah hampir seminggu Jungyeon tidak
menyapaku. Tidak membuatkan sarapan. Tidak mencuci bajuku. Bahkan tidur pun
terpisah. Aku sering melihatnya pulang tengah malam. Apa yang ia lakukan? Aku
tidak bisa focus pada pekerjaanku. Sejak tadi aku hanya memikirkan Jungyeon. Memikirkan
apa yang ia lakukan di luar sana. Pergi pagi dan pulang tengah malam. Haruskah
aku mencari tau? Yah, mungkin itu perlu. Aku segera pergi dari kantorku. Pulang.
Itu yang aku pikirkan sebelum aku memutuskan untuk pergi mencari Jungyeon.
“Sekretaris Han, hari ini aku ijin. Jika
ada yang menanyaiku katakan saja aku sedang ada urusan pribadi.” Pamitku pada
sekretaris baruku.
“Ne sajangnim.”
Aku baru saja sampai di depan rumah. Aku
segera masuk dan aku melihat sepasang sepatu pria di depan pintu masuk. Aku
mempercepat langkahku dan aku menemukan Jungyeon sedang berciuman dengan pria
itu. Lancang sekali pria itu menyentuh istriku. Aku mengepalkan kedua tanganku
dan segera menjauhkan pria itu dari Jungyeon. Aku memukulnya beberapa kali. “Beraninya
kau mencium istriku!” aku memukulnya lagi. Emosiku benar-benar tidak bisa ku
kendalikan lagi.
“Jimin?” aku dapat mendengar suara Jungyeon
saat aku berhenti memukuli pria itu.
Aku melihat Jungyeon menghampiri pria itu
dan membantunya berdiri.
“Bangunlah. Maafkan aku.” Ujarnya pada pria
itu. “Aku akan mengobati lukamu di kamar.”
“JUNGYEON!!!” bentakku saat Jungyeon
menuntun pria itu menuju ke kamarnya. Istriku mengabaikanku. Seperti inikah
perasaannya saat ia melihatku berhubungan intim dengan sekretaris lamaku? Aku benar-benar
bodoh.
Tak lama setelah kejadian tadi, Jungyeon
dan laki-laki itu keluar dari kamar. Jungyeon mengantarnya hingga depan pintu. Aku
menghampiri Jungyeon saat pria itu pergi dari rumahku. Aku menarik Jungyeon ke
dalam pekukanku. “Maafkan aku.”
“LEPASKAN AKU!” bentaknya sambil menjauhkan
dirinya dari pelukanku.
Aku memeluknya kembali dengan sangat erat. Aku
dapat merasakan ia memberontak. Namun setiap kali ia berusaha melepaskan diri
aku semakin mempererat pelukanku. “Jungyeon maafkan aku. Aku tau. Aku sudah
merasakan semua rasa sakit yang kau rasakan saat itu. Sudah cukup jang
dilanjutkan lagi. Sampai kapan kau akan marah padaku? sampai kapan kau akan
menyakitiku? Aku sudah tidak berhubungan dengan sekretarisku. Aku bahkan
memecat sekretarisku setelah kejadian itu. Maafkan aku. Aku hanya ingin
menghabiskan waktu bersamamu. Seperti saat kita masih belum menikah. Maafkan
aku.”
“Oh begitu. Jadi jika aku tidak datang ke
kantormu saat itu dan mengetahui semuanya kau masih akan terus berselingkuh
dengan wanita lain? Kau brengsek Jimin. Jangan dekati aku lagi. Aku tidak ingin
melihatmu lagi.” Kenapa ini begitu menyakitkan? Aku sudah meminta maaf padanya.
Apakah aku harus melakukan hal yang lebih dari ini? mungkin jika aku
melakukannya lagi dia akan bersikap baik padaku dan memaafkanku.
“Benarkah begitu? Apakah setelah ini kau
masih tidak akan memaafkanku?” Ucapku sambil menggendongnya ke kamarku. Aku
dapat melihatnya terkejut. Ia meronta tapi aku terus membawanya hingga sampai
di kamarku. “Aku tidak akan pernah melepaskanmu Yeon.” Aku membaringkannya di
kasurku dan menciumnya dengan kasar. Tidak butuh waktu lama. Ia pun membalas
ciumanku. ‘Aku tau kau juga menginginkannya Yeon. Aku merindukanmu. Aku merindukan
masakanmu dan semuanya.’
SKIP
“Huweek…” samar-samar aku mendengar suara
seseorang sedang mual. Aku beranjak dari tidurku dan memakai pakaianku yang
tersebar di kamarku. “Huweeek…” aku mendengarnya lagi. Ada apa dengan Jungyeon?
Mungkinkah….
“Chagi…” aku memeluk Jungyeon dari
belakang. “Aku sangat senang.”
“Apa maksudmu?” tanyanya. Ia sepertinya
tidak megerti.
“Sepertinya kau hamil.” Jawabku sambil
terus memeluknya.
“Ha-hamil? Be-benarkah itu?” Jungyeon
terlihat seperti ketakutan.
“Itu hanya dugaanku. Sebaiknya kita pergi
ke rumah sakit saja dan memeriksakannya dengan benar.”
“Bagaimana keadaannya dokter?” tanyaku saat
dokter itu selesai memeriksa istriku.
“Usia kandungannya sudah berjalan 3 minggu.
Mual-mual saat awal kehamilan itu wajar. Dan jika istri anda akan meminta
sesuatu tolong berikan saja.”
“Be-benarkah aku hamil?” Jungyeon menangis.
Kenapa? Apakah dia bahagia? Atau dia belum siap menjadi seorang ibu?
“Iya nyonya Park. Anda harus memeriksakan
perkambangan kandungan anda setiap bulan bersama Tuan Park.” Jelas dokter itu.
“Baiklah kalau begitu terima kasih dokter.”
Aku berpamitan dan membawa Jungyeon pergi.
Sampai di mobil aku masih melihatnya
menangis. aku memberanikan diri untuk bertanya padanya. “Kau kenapa?”
“Oppa. Aku tidak mau hamil.” Jawabnya.
“Wae? Kau belum siap menjadi ibu?” tanyaku
lagi.
“Huum. Aku tidak mau menjadi gendut lalu
kau mencari wanita lain. Hiks…” yaampun. Istriku benar-benar polos.
“Bagaimana bisa seperti itu? Aku tidak akan
meninggalkanmu. Aku janji. Lagi pula itu juga hasil perbuatanku sendiri. Aku
berjanji padamu. Aku akan menghabiskan waktu bersamamu dan calon bayi kita. Aku
mencintaimu Jungyeon.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar